Pagi yang cerah, duduk bersama kakek di hari Minggu. Dua cangkir kopi dan beberapa potongan ubi berbalur gula merah tersaji di hadapan kami, buah dari olahan si Upik dengan tangan cekatannya. Biasanya di pagi seperti ini si Upik masih terlelap tidur karena semalaman dia begadang di depan televisi.
"Silahkan Kek, kak. Ini Upik yang merebus lho," Ucapnya sembari tersenyum. Upik meletakkan piring tempat ubi dan dua gelas kopi hitam kental, lantas dia duduk manja di samping kakek.
"Bener ini kamu yang memasak Pik? Ah bohong kamu," Selidikku tak percaya.
"Bener kak, ah kakak ini tak percaya. Cobain saja pasti rasanya enak dibanding olahan ibu, hikhiiik," PeDe-nya Upik atas olahan makanan favoritku tersebut. Maklum... kami tinggalnya di sebuah perkampungan kumuh jauh dari perkotaan, jadi Ubi adalah menu setiap hari bagi keluarga kami dan mau tidak mau aku harus memfavoritkan makanan tersebut.
"Kek, itu kaki kakek bekas terkena apa?" Tanyanya Upik menunjuk ke kaki kakek. Ada bekas luka yang sudah lama dan masih terlihat jelas membekas di kaki yang kini semakin mengecil dan mengering kulitnya. Kakek mengelus kaki yang kulitnya mengeriput dan disana-sini mengelupas sehingga tampak memutih.
"Ini? Ini dulu kena cipratan granat yang meledak di lempar tentara Jepang ke arah kami," Jawabnya kakek.
Menurut kakek, beliau dulu seorang pejuang yang ikut melawan penjajah merebut tanah pertiwi. Dentuman meriam, rentetan misiu yang dimuntahkan dari senapan musuh adalah makanan tak mengenakkan yang harus dihadapi setiap hari.
Keluar masuk hutan dan perkampungan dengan senjata bambu runcing di tangan adalah semangat kakek beserta pejuang lain di kala itu.
Air sungai biasa mereka minum demi melepaskan dahaga yang mencekik tenggorokan. Memakan ubi dan ketela jalar mentah sering mereka lakukan demi mengganjal perut agar kuat mengangkat senjata.
Situasi kian carut marut tiap kali tentara musuh melepas tembakan ke perkampungan. Korban berjatuhan di pihak Republik dan tak mengenal usia. Jerit tangis kerap menjadi melodi menyayat hati yang mereka dengarkan dalam semangat juang tak kenal kendur. Namun begitu kakek dan yang lain masih sempat bercanda di tengah perencanaan strategi penyerangan dan ancaman senjata musuh yang siap merenggut nyawa.
Dalam sebuah pertempuran sengit di pinggir kota Semarang itu kemudian kakek terkena cipratan granat yang dilempar tentara Jepang.
Dalam pertempuran itu tentara Jepang berhasil dipukul mundur ke arah Lawang Sewu yang saat itu menjadi markas mereka setelah pihak Belanda angkat kaki dari Semarang.
"Oh... begitu, ya kek?" Upik manggut-manggut.
"Iya cucuku Upik." Kakek mencuil ubi rebus yang masih mengepulkan asap, lantas menikmatinya.
Ada beberapa hal yang sering kakek pesankan kepada kami. Diantara pesan itu adalah; 'Kalian harus belajar yang giat biar bangsa ini juga ikut pintar. Bangsa yang isinya orang-orang pintar tidak akan mudah dijajah oleh negara lain.
Kalau kalian jadi anak pintar, negara juga akan aman. Tidak enak kalau hidup kalian dijajah, akan sengsara cu cucu...,' kami kemudian pamit sama kakek untuk selanjutnya pergi ke pantai bersama teman-teman. Esuk kita akan kembali menikmati pagi bersama kakek. (*)
Baca juga cerpen Desir Kita di 3.676 Mahameru.
http://zackymadumoe.mywapblog.com/cerpen-bersama-kakek-di-minggu-pagi.xhtml
BalasHapus