Cerpen: Sebuah Harapan Disela Nafas Kakek Ibrohim

sebuah harapan disela nafas kakek ibrohim

Masih seperti kemarin dan minggu sebelumnya, suasana sebuah pasar di dekat tempat tinggalku. Pasarnya tidak ramai juga tidak sepi oleh hiruk pikuk jual beli barang.
Aku yang setiap hari berjualan peralatan rumah tangga disalah satu sudut pasar tersebut hanya bisa mengelus dada, pasalnya seorang kakek dengan penuh harap menggelar dagannya tidak jauh dariku berada. Tampilannya lumayan bersih dengan pakaian layak pakai, tapi dari sorot mata dan aura wajah sangat mengisyaratkan sebuah harapan di atas kegelisahan. Ya..., berulang kali kakek yang kemudian aku kenal bernama Ibrahim tersebut mendongak ke langit dengan mata berkaca-kaca.
Hari itu adalah pertama kakek Ibrahim berjualan disekitaran pasar tradisional tempatku berdagang. Mulanya aku biasa saja dan tak memperdulikan kehadiran kakek Ibrahim, tapi menjelang siang aku baru sadar jika kakek tersebut sangat membutuhkan uluran tangan dari seseorang.

Kakek Ibrahim berjalan tertatih sebelum ia menggelar dagangan berupa buku-buku agama. Setelah sang kakek menata buku-buku itu di atas kotak bekas tempat buah jeruk, kakek Ibrahim pun duduk 'nglemprak' di atas tanah, menanti calon pembeli.
Satu jam kakek Ibrohim duduk disitu dan tak bergeser sedikitpun, aku meliriknya cuek karena diriku sendiri tengah sibuk melayani pembeli. Kulihat ada beberapa orang yang mendekat ke dagangan kakek Ibrahim, memperhatikan sebentar lantas pergi meninggalkannya. Aku sangat tahu apa yang kakek itu rasakan saat ada orang yang mampir ke gelaran dagangannya, pasti beliau ingin orang tersebut membeli barang yang dijualnya. Namun, dengan cepat wajah beliau berubah cemberut karena colon pembeli yang diharapkan membeli pun berlalu begitu saja.
Perjuangan kakek Ibrahim dalam berjualan terbilang berat dan melelahkan. Beliau berjalan kaki sejauh 1 km dari pondokannya menuju pasar tradisional dimana saya juga berjualan di situ.
Kata kakek Ibrahim, belaiau berangkat dari rumahnya sebelum Adzan Subuh berkumandang. Di tengah perjalanan beliau sempatkan untuk ke sebuah Mushola guna menunaikan shalat wajib 2 rakaat, lalu melanjutkan perjalanan ke pasar tradisional yang dimaksud.
Sungguh itu sebuah perjuangan dan semangat hidup yang tinggi mengingat usia kakek Ibrahim yang sudah 85 tahun.

"Woi! Jangan lari...!!! Copet.....!!!" Suara dari ujung gang pasar mengagetkan banyak orang, seseorang berteriak dengan keras meneriaki copet. Mendengar teriakan itu aku pun berdiri ingin tahu ada apa sebenarnya.
Mendadak suasana pasar menjadi gaduh. Seorang pria bertubuh tinggi berlari dengan kencang menuju ke arahku. Sementara itu beberapa lelaki yang biasanya di pasar pun kulihat mengejar pria tersebut.
'Braaaaakkkk!!!' Pria yang di teriaki copet menabrak kotak bekas tempat buah yang di atasnya tertata buku-buku milik kakek Ibrahim. Pria itu terjatuh dan badannya menindih kakek Ibrohim yang sedang duduk bersedekung dengan kedua tangan di depan kaki. Buku-buku itu berhamburan, kakek Ibrohim merintih lirih, pria pencopet dengan cepat bangkit dan mencoba berlari dengan kencang, tapi sayang buat penjahat tersebut karena dihadapan dia telah berdiri Aku dan tiga pedagang yang lain. Tak ayal bagi penjahat tersebut, dia kami sergap dan beberapa pukulan langsung mendarat di wajahnya.

"Kakek, kakek tidak apa-apa kan?" Kucoba membangunkan kakek Ibrohim yang masih terlentang akibat tadi tertindih pria pencopet. Nafas kakek Ibrohim ngos-ngosan, beliau membetulkan pecinya yang tampak kotor oleh tanah. Sementara itu si pencopet terdengar meminta ampun karena dihajar banyak orang.

Kakek Ibrohim beringsut membetulkan duduknya. Sebentar beliau menoleh ke arah pria pencopet, kemudian kembali memandangiku. Diriku hanya bisa menarik nafas saat kudapati mimik wajah kakek itu bersedih. Bergegas aku dan kakek Ibrohim memunguti buku yang tadi berhamburan.
"Ada-ada saja dia, sudah tahu aku renta, masih ditabrak dan di tindihnya," Kakek Ibrohim mengelus rahangnya yang mungkin sakit karena terbentur siku pria pencopet. Disela membereskan barang dangannya, aku sempatkan diri untuk menanyai kakek Ibrohim tentang siapa beliau sebenarnya dan dimana tempat tinggalnya.

"Siapa nama kakek, dimana kakek tinggal?" Tanyaku. Beliau memandangku, lalu tertunduk lemah menatap tanah. Sebentar kembali mengarahkan wajahnya kepadaku.
Kedua mata beliau berkaca-kaca saat menceritakan siapa dirinya, kisah hidupnya kini, dan dimana beliau tinggal.
Aku terhenyak dan bersedih sampai mataku ikut berair. Sudah lama sekali kakek Ibrohim tidak menempati rumah miliknya karena di usir oleh anak sendiri. Peristiwa di usirnya kakek Ibrohim sudah berlangsung 10 tahun yang lalu.
Kata beliau dengan mengusap air mata, anaknya memang nakal, setiap hari dia mabok-mabokan, main judi, main perempuan, sehingga uang hasil jerih payahnya sebagai kuli batu pun habis tak tersisa. Bingung uangnya habis dan tidak ada pekerjaan lagi, sementara hutangnya menumpuk dan di tagih sana-sini, anak laki-laki (belum menikah) kakek Ibrahim tersebut akhirnya mengambil jalan mudah dengan mengambil Sertifikat pekarangan rumah yang kemudian di gadaikan kepada seorang rentenir. Kakek yang sebenarnya sangat bersahaja itu pun memarahi anaknya. Namun apa yang terjadi? Si anak malah kalap dengan mendorong tubuh bapaknya, kemudian mengusirnya dari rumah dengan megacungkan Sabit ke arah kakek Ibrahim.
Kakek Ibrahim hanya bisa mengelus dada dan menitikkan air mata. Beliau pergi dari rumahnya tanpa arah dan tujuan. Beliau melangkah kemana saja asalkan bisa selamat dari ancaman sang anak.
Tak terasa langkah gontai kakek Ibrahim sudah jauh meninggalkan pondokan yang sudah puluhan tahun ditempati. Jika saja kakek Ibrahim mempunyai anak lain selain putra yang kurang ajar tersebut, mungkin nasibnya tak akan seperti itu.

Kakek Ibrahim menarik nafasnya pelan, sementara diriku masih serius mengikuti ceritanya. Sembari memberesi buku-buku itu beliau melanjutkan cerita sedihnya.
Semenjak kakek Ibrahim meninggalkan rumah, beliau tak pernah sekalipun pulang karena masih takut dengan kelakuan anak semata wayangnya itu. Kakek Ibrahim tidur dimana saja saat malam tiba, untuk makan pun beliau mengais dari sisa orang dan sering mengorek-ngorek di tong sampah yang dijumpainya. Kepedihan di sisa hidupnya ini beliau jalani sampai kurang lebih ada dua tahun sebelum akhirnya seorang buruh pabrik yang baik hati mengajak kakek Ibrahim ke tempat tinggalnya.
Kakek Ibrahim di rawat oleh buruh pabrik tersebut dengan ikhlasnya sebagai mana merawat anggota keluarganya sendiri. Tapi kemudian kakek Ibrahim memutuskan untuk pergi dari rumah itu karena merasa tidak enak diri jika terus-terusan harus menggantungkan hidup pada orang lain walaupun karyawan pabrik tersebut sudab menganggap kakek Ibrahim sebagai eyangnya sendiri.

Kepergian kakek Ibrahim sangat disayangkan oleh buruh pabrik tersebut, tapi mau bagaimana lagi kalau si kakek sudah berkehendak lain dan tidak bisa dicegah.
Pergi dari rumah pria buruh pabrik, kakek Ibrahim kembali berkelana tanpa tujuan. Beliau terus berjalan sesuai kata hati. Hingga pada akhirnya bertemu dengan seorang yang baik budi dan mengajak sang kakek ke tempat tinggalnya. Dan orang yang mengajak kakek Ibrohim itu kemudian memberikan sejumlah buku dan kitab-kitab untuk dijualnya oleh sang kakek karena dia sendiri juga sebagai penjual buku keliling.
Kembali aku menarik nafas dalam-dalam. Aku mengajak kakek Ibrohim ke kediamanku setelah membereskan jualan. Aku melihat ada sebuah harapan disela nafas kakek Ibrahim, entah itu harapan apa. (*)

1 Response to "Cerpen: Sebuah Harapan Disela Nafas Kakek Ibrohim"

  1. мαdυмσє вlσg29 Februari 2016 pukul 17.40

    http://zackymadumoe.mywapblog.com/cerpen-sebuah-harapan-disela-nafas-kakek.xhtml

    BalasHapus