~ novel: cintaku merintih di pulau batam (episode 47) ~

jembatan-barelang-img.jpg<br

Seketika desir rasa deras mengalir keseluruh persendianku. Rasanya aku ingin terus berlama-lama memandang binar matanya yang sangat mempesona. Namun kemudian dia tertunduk, mungkin karena untuk menjaga batasan-batasan norma agama saat berhadapan dengan pria. (episode 46 yang lalu).

Aku hanya bisa diam dengan sesekali memperhatikan Dewi. Entahlah, kulihat dia nampak murung tidak seperti biasanya saat aku bertemu dia. Dengan rasa ragu, aku menanyakan hal apa yang membuatnya murung.

"Wi, ada apa denganmu? Kamu tampak murung sekali hari ini," ia menolehku sebentar. Dia diam dengan wajahnya tertunduk memandang lantai.
"Apa aku harus menceritakan ke kamu mas," sebentar dia menatapku, lantas menunduk lagi. Ia tampak menarik nafas panjang, seperti teringat sesuatu yang mulai hilang darinya.
"Iya kalau kamu tidak keberatan, tidak ada salahnya kamu menceritakan apa yang telah membuatmu murung. Toh kita sudah berteman, jadi mungkin aku bisa memberikan solusi atas permasalahan yang sedang kamu hadapi," aku menatapnya. Kini aku pun sudah larut dalam kesedihannya. Ingin sekali dia membagi kesedihan kepadaku, agar aku bisa merasakan apa yang ia rasakan. Ia menghela nafasnya, menoleh ke arahku, lantas mulai menceritakan apa yang dirasakan olehnya.
"Sebenarnya ini masalah pribadiku dengan Bagus," ucapnya lirih, sedikit ada rasa ragu kepadaku.
"Bagus pacarmu maksudnya?"
"Iya,"
"Ada apa dengan bagus, dengan kalian,"
"Dia pacaran dengan cewek lain," kata dia yang tampak emosional."Pacaran sama cewek lain?"
"Iya. Dia telah menodai kesetian cintaku. Dulu aku kira dia tidak akan mencintai wanita lain selain aku, tapi nyatanya," dia kembali terdiam.
"Dari mana kamu tau kalau dia menjalin hubungan dengan cewek lain? Sedangkan kalian tidak berdekatan Wi," tanyaku yang ingin mengetahui dari mana Dewi bisa tau kalau Bagus berpacaran sama cewek lain.
Mendengar apa yang Dewi katakan tadi, sedikit banyak telah terbuka pintu untukku dalam pendekatanku pada Dewi, karena memang aku menaruh hati kepada cewek di dekatku tersebut.
"Adikku yang mengatakannya. Adikku bilang kalau Bagus sering berjalan bareng sama cewek itu,"
"Mungkin saja mereka hanya berteman Wi,"
Berteman? Kalau mereka sekedar berteman kenapa sering jalan bareng, berboncengan bareng?!" Dewi tampak semakin emosional.
"Oh iya, bukankah katamu kalau Bagus itu kuliah? Jadi, mungkin cewek itu teman kuliahnya dan kalau pulang pergi mesti barengan Wi..,"
"Teman kuliah ya teman kuliah, tapi ya tidak seperti itu juga kan?
Ah biarlah, aku tidak mau pusing dengan hal ini. Masa bodoh!" Dewi benar-benar jengkel pada Bagus. Nada suaranya benar-benar menunjukkan kekesalan. Aku yang terdiam, kemudian tersenyum kepadanya. Aku mencoba meredakan kekesalannya tersebut.
"Yo wis..., kita memang tak seharusnya memusingkan diri dengan bermacam persoalan. Namun tidak ada salahnya kita untuk mencari jalan keluar terbaik atas permasalahan tersebut.
Coba nanti kamu tanyakan kepada dia dengan kepala dingin. Benar tidak dia punya pacar selain kamu. Namun, pastinya dia tidak akan mengaku karena ia tidak ingin putus hubungan denganmu,"
"Aku malas kalau harus menanyakan itu pada dia mas. Mendingan aku diamkan saja, biarin dia mau berbuat apa sesukanya disana,"
"Oh begitu, kalau memang itu keinginanmu, ya... tidak apa-apa. Tapi kamu jangan murung lagi, yach. Tersenyum dong..," meski kecut, Dewi tersenyum juga. Kami kemudian larut dalam canda, hingga Dewi pun lupa dari permasalahannya.
Aku dan Dewi masih berbincang di depan rumah itu. Sementara Lina muncul dengan minuman sirup yang kemudian di letakkan di depanku.
Suasana semakin hidup saat Lina mulai dengan leluconnya. Lina memang cewek yang lucu, sedikit tomboy juga centhil. Tidak jarang kami dibuatnya terpingkal.
Karena hari telah menjelang malam, aku kemudian pamit kepada kedua cewek itu untuk pulang.

Aku sudah bekerja di perusahaan tempatnya si Jhon. Hari itu adalah pertama aku bekerja tercatat sebagai seorang karyawan di sana.
Aku tidak pernah menyangka kalau aku akan mendapatkan kepercayaan sebagai Quality Control (QC). Ya, kerjaanku mengontrol, menyeleksi layak tidaknya barang-barang produksi sebelum dikirim keluar pabrik.
"Yang ini kan rijeck mas," kataku pada seorang karyawan produksi.
"Ah kamu, karyawan baru sudah belagu," kata dia menanggapi perkataanku tadi.
"Kok begitu toh mas. Saya kan menilainya berdasarkan standar kelayakan barang, bukan belagu atau apa,"
"Memangnya aku pikirin dengan pekerjaan orang QC, yang bisanya cuma bilang rijeck, rijeck dan rijeck tanpa mau meneliti dengan serius!" karyawan itu malah marah-marah.
"Kami menilainya sesuai prosedur standar kelayakan barang, bukan semau kami mas. Jadi hargailah kami,"
"Oh, jadi kamu minta dihargai?!
Hargai juga dong kami yang sudah susah-susah bekerja," karyawan produksi itu menatapku tajam. Tersirat kebenciannya teramat sangat kepadaku. Aku kemudian meninggalkannya setelah bilang permisi, karena memang aku tidak suka bersitegang dengan siapa saja.
"Huh, ngeyelnya orang itu," kataku sambil berjalan.
"Aduh! Pakai mata dong kalau berjalan, dasar!" suara seorang karyawati yang tertabrak olehku.
"Maaf mbak, maaf. Saya sudah memakai mata kok,"
"Kalau memakai mata kenapa main tabrak saja!"
"Duh galaknya,"
"Memang iya aku galak, baru tau kamu," kemudian karyawati itu berlalu dariku. Aku bengong, lantas tersenyum sendiri.

"Hei, lihat anak itu. Dia ganteng, ya. Tampaknya dia karyawan baru disini," lirih kutangkap pembicaraan disudut ruang produksi. Aku menoleh ke arahnya, lalu melanjutkan tugasku.
"Iya, dia keren banget... mau dong...," jawab teman yang lain. Entahlah, semoga mereka tidak sedang membicarakan aku, karena kalau hal itu sampai terjadi, maka aku akan ke GeEran.
Aku terus mengecek barang-barang yang tadi sudah ditunjukkan oleh atasanku dimana saja tempatnya aku bertugas hari ini.
"Hei cowok..., ngapain kamu main-main dengan barang itu? Awas, nanti bisa meletus lho, hikhikhiiik," suara seorang cewek yang berdiri sambil tangannya mengerjakan pengepakan barang. Aku tetap diam, fokus pada pengecekan barang. Sebagai seorang karyawan baru, aku putuskan untuk tidak banyak bicara. Aku tidak akan menanggapi mereka, kecuali ada hubungannya dengan pekerjaan.
"Ichhh, ganteng-ganteng kok sombong!"
"Bukan sombong kali..., mungkin dia seorang yang tuli, hahaa," kata mereka. Aku meliriknya sebentar, kemudian melanjutkan pengecekan.
Gludak! "Aduh..!" tampak sebuah kardus kosong dilemparkan seseorang dan mengenai wajah karyawati tersebut. Aku yang melihat dia mengaduh, hanya menahan senyum dan berkata 'rasain elu' lirih.

(bersambung ke episode 48).

Klik ini dong kang mas, diajeng!

3 Responses to "~ novel: cintaku merintih di pulau batam (episode 47) ~"

  1. мαdυмσє вlσg25 Agustus 2015 pukul 08.33

    http://zackymadumoe.mywapblog.com/novel-cintaku-merintih-di-pulau-batam-e-20.xhtml

    BalasHapus
  2. Begitulah cewek kalau melihat cowok ganteng, kebanyakan mereka akan suka dan menggoda si cowok, tidak ubahnya cowok kalau melihat cewek cantik, mereka juga kan suka menggodanya.
    Apa yang dilakukan oleh Dewi adalah hal bijak dari pada dia terus-terusan memikirkan si Bagus, pacarnya yang sudah tidak setia lagi itu.
    Aku, apakah dia akan mendapatkan cintanya Dewi? Sangat menarik ceritanya untuk terus saya ikuti ini gan..

    BalasHapus
  3. мαdυмσє вlσg25 Agustus 2015 pukul 11.17

    @LOTRE MP3,
    Mungkin 'Aku' akan mendapatkan cinta dari si Dewi, tapi mesti berjuang sekuat tenagana itu gan, agar 'Aku' bisa berjalan mulus bersama cintanya.

    BalasHapus